Minggu, 06 Maret 2011

Tak Sesulit yang Kukira

Oleh: Elka Ferani

“Kamu selalu begitu! Kapan kamu bisa pintar? Tiap saya ngajar, kamu selalu mengacuhkan saya…!”

Aku tertunduk di depan kelas, di hadapan papan tulis berisikan soal Fisika yang tak bisa kukerjakan. Di depan teman-teman sekelasku yang cuma bisa terdiam saat sang guru Fisika menumpahkan kemurkaannya padaku. Malu, sedih, kesal campur aduk jadi satu. Aku memang bodoh, karena tidak pandai Fisika. Tak hanya Fisika, aku juga bodoh di bidang ilmu pasti lainnya. Matematika, Kimia, Fisika. Tiga mata pelajaran yang paling kubenci selama duduk di bangku sekolah menengah belasan tahun silam.


***

Kebencianku pada ibu guru Fisika yang pernah mempermalukanku berulang kali di depan kelas membuatku bertekad tak mau mengambil jurusan IPA. Saat kenaikan kelas 3, dengan mantap aku menjatuhkan pilihanku pada jurusan IPS, meskipun jurusan itu kerap disebut-sebut sebagai “kelas buangan”, gudangnya anak nakal, dan entah apa lagi.

Payahnya, masuk jurusan IPS ternyata tak membuatku bisa say good bye dengan ilmu pasti. Di jurusan IPS, kami tetap mendapat mata pelajaran Matematika, walaupun porsinya tidak sebanyak jurusan IPA. Biarlah, yang penting aku tak perlu lagi sering-sering melihat wajah sinis ibu guru Fisika yang bikin trauma itu.

Sepanjang duduk di kelas 3 SMA, aku tetap bersikap apatis dengan Matematika. Melihat angka-angka selalu membuatku keder duluan, tanpa mau mencoba belajar terlebih dahulu. Di benakku sudah kadung tertancap image: Matematika itu sulit. Maka, sulit sekali bagiku untuk memotivasi diri belajar Matematika.

Menjelang Ebtanas, aku terkejut ketika mengetahui bahwa Matematika untuk jurusan IPS ternyata masuk salah satu mata pelajaran yang di-Ebtanas-kan. Aku kelimpungan. Padahal, aku punya ambisi bisa meraih NEM tertinggi untuk jurusan IPS. Gondok juga hatiku menghadapi kenyataan ini. Namun, kali ini tak kubiarkan diriku kalah oleh pikiran-pikiran negatifku tentang Matematika. Ambisiku untuk menunjukkan prestasi terbaik jauh lebih kuat. Aku gerah dengan cap negatif yang diberikan untuk anak-anak jurusan IPS.

Akhirnya, aku membeli buku kumpulan soal-soal Ebtanas lima tahun terakhir. Aku mulai berlatih mengerjakan soal-soal Matematika dari buku kumpulan soal yang dilengkapi kunci jawaban itu. Kucoba memahami setiap langkah demi langkah penyelesaian soal, mencatat langkah-langkah itu secara rinci dan rapi di buku tulis khusus. Buku tulis khusus itu juga kugunakan untuk berlatih soal-soal Matematika Ebtanas tahun-tahun lalu yang kupinjam dari perpustakaan sekolah.

Ajaib, mendadak saja aku jadi gandrung dengan Matematika! Aku jadi keasyikan mengerjakan soal-soal Matematika. Baru kusadari, Matematika ternyata tak sesulit yang kukira. Asal kita mau berlatih mengerjakan soal dan telaten mengasah logika kita, Matematika sebenarnya sangat mudah! Apalagi, kutemukan sebuah pola dalam soal-soal Ebtanas tersebut. Dari tahun ke tahun sebenarnya soalnya itu-itu saja, hanya dimodifikasi angka saja.

Tak heran, ketika Hari-H tiba, aku yang telah terlatih dengan soal Matematika yang polanya sama, merasa mendapat makanan sedap. 40 soal pilihan ganda dan 5 soal essay kulahap dengan rakusnya. Aku bahkan yakin mampu menjawab 5 soal essay dengan sempurna.

Saat pengumuman kelulusan, aku takjub melihat nilai Matematikaku. 9,75. Nilai yang jauh melampaui mata pelajaran favoritku sendiri, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kuhitung-hitung, aku cuma salah satu di soal pilihan berganda. Mau tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Aku merasa jadi orang paling pintar sedunia! Rasa sakit hatiku pada guru Fisikaku berbalas. Aku tak sebodoh yang dia kira!

Ambisiku menjadi peraih NEM tertinggi untuk jurusan IPS tercapai, tak hanya di tingkat sekolah, namun aku peraih NEM tertinggi Jurusan IPS se-propinsi Bali! Saat upacara perpisahan, aku dipanggil ke tengah lapangan untuk menerima ucapan selamat dari para guru. Semua guru menyalamiku, termasuk ibu guru Fisika yang pernah mempermalukanku di depan kelas. Untuk pertama kalinya, aku berani menatapnya dengan kepala tegak.

“Selamat, ya,” katanya. Itu pertama kalinya dia tersenyum padaku!

***

Sudah menjadi rahasia umum jika sistem pendidikan kita terlampau berfokus pada otak kiri. Seorang anak disebut “cerdas” jika dia pintar Matematika atau jago Fisika dan Kimia. Padahal, ada sekian jenis kecerdasan manusia. Selepas kuliah dan memasuki “kehidupan yang sebenarnya”, aku pun baru sadar bahwa sisi-sisi lain kecerdasan, seperti kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional yang mengandalkan otak kanan ternyata jauh lebih penting perannya untuk kita sukses dalam kehidupan.

Runtuh sudah kebanggaanku pada prestasi akademisku di masa lalu. Walaupun demikian, ada sekelumit pelajaran berharga yang kuperoleh dari pengalamanku “menaklukkan” Matematika. Dendamku pada sang guru Fisika, yang justru memacuku untuk belajar mengesampingkan pikiran-pikiran negatifku terhadap sesuatu yang membuatku mati kutu. Ternyata tidak ada yang sulit, asal ada kemauan!

Dulu, aku pernah merasakan sulitnya berbicara di depan umum. Betapa episode-episode berbicara di depan umum selalu menjadi pengalaman memalukan bagiku. Nervous, tidak pede, dan mati kutu. Sempat terlintas di pikiranku, sampai kapan pun aku takkan pernah bisa berbicara di depan umum. Lagian apa pentingnya? Toh, aku cukup terampil menulis. Aku bisa menuangkan buah pikiranku lewat tulisan, tak perlulah membuat mulutku berbusa-busa untuk berbicara dengan orang. Namun belakangan kusadari, biar bagaimanapun, aku juga harus bisa berbicara di depan umum. Aku harus mau belajar bicara di depan umum—sesuatu yang menurut survei sih katanya menempati posisi pertama hal paling ditakuti manusia di seluruh dunia!

Bagaimana caranya? Aku mulai melatih diriku di forum-forum kecil seperti halaqoh mingguan. Tiap kali mendapat giliran menyampaikan taujih (ceramah singkat), kupersiapkan materi dengan sebaik-baiknya. Walaupun audiensku “bukan siapa-siapa”, melainkan teman-teman halaqohku sendiri yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, kupaksakan diri untuk selalu memberikan yang terbaik. Itu berarti aku harus meluangkan waktu khusus untuk mengonsep terlebih dahulu isi taujihku. Karena tanpa konsep yang ditulis dengan rapi, aku benar-benar mati kutu dan tak mampu bicara apa pun!

Suatu hari, kakakku tercinta memperkenalkanku pada bisnis sebuah produk. Semula aku bersikap apatis. Karena untuk sukses memasarkan produk tersebut, kuncinya adalah bicara dengan orang sebanyak mungkin. Setelah sedikit didesak, dan dengan pertimbangan aku dan suamiku juga sangat membutuhkan produk tersebut (jika kami gunakan produk tersebut sambil terjun ke bisnisnya, setidaknya harganya jadi jauh lebih murah), aku pun memberanikan diri terjun di dalamnya.

Dengan sedikit perjuangan menaklukkan sifat pemaluku, lagi-lagi kudapati sebuah “keajaiban”. Ternyata aku bisa! Sampai orang-orang di sekelilingku terheran-heran dibuatnya. Aku yang terkenal pemalu sejak kecil, mendadak jadi pintar bicara dengan orang untuk berpromosi, hehehe… Walaupun pada perkembangan selanjutnya, aku tetap bertahan pada sifat dasarku yang tak terlalu suka bicara, sehingga aku memilih lebih banyak memasarkan produk tersebut secara online saja. Namun dari sinilah aku jadi memiliki sedikit keterampilan berbicara dan memengaruhi orang secara lisan. Sesuatu yang amat kusyukuri, karena dulu tak pernah sedikit pun terbayangkan aku bisa melakukannya!

Pernahkah Anda merasa mati kutu terhadap sesuatu? Jangan biarkan pikiran-pikiran negatif memengaruhi alam bawah sadar Anda. Yakinlah Anda bisa melakukannya, dan tanamkan dalam hati bahwa Anda bisa. Insya Allah, tak lama kemudian, Anda akan bisa tersenyum sambil berkata, “Tenyata, tak sesulit yang kukira …”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingin LANGSING dan SEHAT dengan
JUICE NUTRISI rasa es krim?

Tanya saya bagaimana!

081-999-548-688 | http://www.DietAsyik.blogspot.com | www.facebook.com/elkaferani

Entri Populer