Jumat, 07 Januari 2011

Senyum Adalah Sedekah, Tapi ...

Oleh: Elka Ferani

Bukan lantaran saya merasa telah menjadi ahli sedekah, hingga berani-beraninya saya menulis tentang sedekah.

Semua berawal dari oleh-oleh yang dibawa suami saya tercinta pada suatu sore. Pulang menjelang maghrib, dengan membawa barang-barang dalam beberapa kantong kresek besar. Dari jam pulang yang tak biasa dan dari penuhnya barang bawaan, saya telah bisa menduga ia baru mendapat rezeki rada lumayan, dan sisa waktunya hari itu dihabiskannya untuk membeli hadiah buat orang-orang tercintanya di rumah.


Salah satu kantong kresek yang dibawanya berisi buku-buku hasil perburuannya di Toko Buku Toga Mas dan Gramedia. Buku yang langsung merebut perhatian saya berjudul “7 Keajaiban Rezeki” karya Ippho Santosa. Sebuah buku tentang mengasah otak kanan. Sudah baca buku ini? Jika belum, saya sarankan Anda untuk segera membelinya di toko buku terdekat atau mencari teman yang berbaik hati mau meminjamkannya.

Beberapa hari sebelumnya, suami saya menghadiri sebuah acara seminar yang diadakan oleh TASBIH (Komunitas Bisnis Ikhwah) Bali dengan narasumber sang penulis buku “7 Keajaiban Rezeki”. Waktu itu, suami saya pulang dengan membawa berjuta cerita tentang sosok Ippho Santosa yang begitu fenomenal. Rupanya, acara itu begitu membekas di hatinya, sehingga ketika mendapat rezeki, buku itulah yang pertama kali menjadi incarannya!

Saya yang penasaran langsung saja “membajak” buku tersebut, dan tuntas saya baca dalam beberapa jam.

Banyak hal yang saya dapat dari buku mega best seller ini. Kalau ditulis semua, kayaknya bakal jadi satu buku deh, hehehe… Karena itu, kali ini saya akan mengangkat satu topik saja yang terinspirasi dari buku tersebut, yaitu tentang sedekah.

Senyum Adalah Sedekah, Tapi …

Sebuah penerbit dalam statusnya di Facebook menuliskan sesuatu terkait promosi sebuah bukunya yang baru terbit. Buku itu tentang memancing rezeki dengan sedekah. Seseorang lantas mengomentari status tersebut. Katanya, “Senyum penuh keikhlasan adalah sedekah paling mudah dan indah …”

Senyum adalah sedekah. Memang, ada hadis yang menyebutkan hal tersebut. Rasanya, orang paling awam tentang agama pun tahu. Namun, jika dikaitkan dengan konteks sedekah untuk memancing rezeki, cukupkah kita hanya bersedekah dalam bentuk senyuman?

Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita sedikit menengok pada hukum timbal-balik (law of reciprocity). Jika anda sedekah senyuman (ramah terhadap orang lain), maka orang lain pun akan ramah pada Anda. Jika Anda sedekah tenaga (ringan tangan), maka Anda akan mendapat pertolongan orang lain. Jika Anda sedekah uang, Anda akan mendapat uang. Jika uang receh yang disedekahkan, maka imbalannya pun uang receh pula.

Mau kaya-raya? Sedekahlah uang sebanyak-banyaknya!

Intinya, bersedekahlah dengan hal terbaik yang Anda miliki, jangan hanya sekadar dengan hal yang mudah. Bukan berarti saya mengecilkan sedekah berbentuk senyum. Silahkan saja kalau Anda hanya ingin menerapkan hadis “senyum adalah sedekah” sebanyak-banyaknya, jika memang itu mudah bagi Anda. Namun, belajarlah untuk melakukan sesuatu yang lebih berat, yakni bersedekah dalam bentuk uang. Karena semakin berat pengorbanan yang Anda lakukan (dilihat dari jumlah uang dan rasa sayang terhadap harta yang disedekahkan), semakin besar dan cepat pula balasannya. Tidak percaya? Buka Al Quran surat Ali Imran [3]:92.

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai …” (Q.S. Ali Imran [3]:92)
Terbukti kan, sedekah senyum saja tidak cukup? Nabi pun ternyata pernah berpesan,
“Sesunguhnya, pahalamu sesuai dengan kadar kepayahan dan nafkahmu.”

Sedekah: Sembunyi-sembunyi atau Terang-terangan?

Belum lama ini, sepulang mengikuti kajian Ustadz Yusuf Mansur di Masjid Agung Sudirman, Bali, suami saya mengupdate status di Facebook.

“Uang di dompet terkuras habis oleh motivasi Ustad Yusuf Mansur, alhamdulillah tidak ada 1 menit, Allah mengganti kembali 5 kali lebih banyak..... Allaahu Akbar, dahsyatnya sedekah …”

Seseorang lantas mengomentari status tersebut, “Huss… jangan riya!”

Sejujurnya, saya pun pernah beranggapan bahwa orang yang menyebut-nyebut sedekahnya adalah riya. Membaca buku “7 Keajaiban Rezeki”, subhanallah, cakrawala berpikir saya menjadi terbentang luas terkait sedekah. Dan rupanya saya harus mengucapkan istighfar pula atas kekhilafan saya selama ini.

Jika Anda masih kerap ber- su’udzon terhadap orang lain yang terang-terangan menyebutkan sedekahnya, mulai sekarang berhentilah bertindak bak malaikat auditor sedekah! Memang, ada pepatah (atau hadis?) yang mengatakan, “jika tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu”. Artinya jelas: jangan riya!

Namun jangan lupa, sedekah diam-diam juga dapat menimbulkan ujub. Bisa jadi inilah yang terlintas di benak kita, “Si anu kok riya sih, sedekah pake bilang-bilang? Saya loh, sedekah diam-diam saja!” Dosa kita jadi dobel. Sudah menuduh orang riya, kita sendiri ujub pula!

Allah sendiri tak pernah melarang kita untuk bersedekah secara terang-terangan. Karena sedekah terang-terangan dapat menjadi syiar agama. Para sahabat nabi ternyata juga kerap bersedekah secara terang-terangan untuk menyemangati sahabat lainnya. Dalam konteks kekinian, Ustadz Yusuf  Mansur, Aa’ Gym, dan Ary Ginanjar pun menunjukkan sedekahnya di depan khalayak ramai sebagai “tantangan” bagi mereka untuk melakukan hal yang sama.

Itulah yang dialami suami saya saat menghadiri kajian Ustadz Yusuf Mansur. Merasa tertantang oleh ajakan sang ustadz sedekah, lembar terakhir di dompetnya pun “melayang”. Alhamdulillah, dalam hitungan menit, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya. Seseorang, yang sama sekali tidak kami kenal sebelumnya, terpisah jarak ribuan kilometer darat dan laut, akhirnya memutuskan untuk membeli produk nutrisi pengelolaan berat badan yang kami pasarkan secara online, dan mentransfer pembayaran hanya berselang beberapa menit setelah suami saya mengeluarkan lembar terakhir isi dompetnya untuk disedekahkan. Jumlah yang ditransfer? Berlipat-lipat!

Ikhlas by Doing

Seorang kenalan pernah mengusir peminta sumbangan yang nyelonong masuk rumahnya. “Saya tolak mentah-mentah. Saya kan sudah nyumbang ke yayasan anu yang memang jelas penyalurannya. Daripada tidak ikhlas…”

Hmm… apa iya sedekah itu harus ikhlas? Ternyata, tak ada ajaran “ikhlas dulu, baru sedekah”. Ingat waktu Anda masih kecil dulu, dan orangtua Anda memaksa Anda bangun subuh-subuh “hanya” untuk melaksanakan shalat? Itu juga yang saya alami dulu. Sungguh menjengkelkan ketika harus bangun ketika hari masih gelap hanya untuk melakukan sebuah ritual yang membosankan. Dengan kata lain, waktu itu saya melaksanakan sholat karena takut orangtua marah. Nggak ada ikhlasnya sedikit pun!

Namun seiring waktu, dengan semakin dewasanya saya, lama-kelamaan tak ada lagi rasa terpaksa. Lama-kelamaan, shalat menjadi suatu kebutuhan. Itulah yang disebut dengan ikhlas by doing versi Ippho Santosa. Hal yang sama diterapkan pada sedekah. Kalau menunggu ikhlas, kapan sedekahnya?  Karena sudah menjadi sifat dasar manusia untuk kikir dan selalu menggunakan otak kiri yang penuh perhitungan.

Dan jangan lupa, ikhlas tidak ikhlas, sedekah kita akan tetap berbalas! Apa pun agama Anda. Bahkan jika Anda seorang atheis pun, jika Anda rajin sedekah, Anda akan raya-kaya. Itu karena hukum timbal-balik yang saya contohkan di atas (yang ada dalam buku "7 Keajaiban Rezeki"). Jadi, rugi besar kalau Anda tidak mau sedekah lantaran “takut tidak ikhlas, ntar sia-sia sedekah saya …”

Masak iya, sih?

Terakhir yang ingin saya sampaikan. Membaca tulisan saya, mungkin ada di antara Anda yang masih meragukan dahsyatnya sedekah. Maklum, yang menulis hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang tengah belajar berbisnis dari rumah, bersuamikan seorang lelaki biasa yang baru belajar jadi pengusaha, dan tiap hari masih harus berjibaku menyiasati penghasilan yang ada untuk sedekah, belanja dapur, dan membayar hutang.

Jadi, daripada terus bertanya-tanya dan hanya menyimpan keraguan dalam hati, Anda cari saja buku “7 Keajaiban Rezeki” (Penerbit Elex Media Komputindo) untuk menyelami lebih dalam tentang sedekah, dan hal-hal lain yang bisa melejitkan rezeki dan mengubah nasib Anda dalam 99 hari, dengan otak kanan! Jika melihat integritas penulisnya; seorang mantan remaja kuper plus minder, berpenyakitan, lahir dari keluarga kurang berpunya, bodoh dalam Bahasa Inggris, namun kini menjadi pakar otak kanan, penulis buku-buku mega bestseller, pembicara seminar di Indonesia dan Singapura, penerima MURI Award, dan entrepreneur beberapa bidang usaha; dijamin Anda tak akan bisa berdalih lagi untuk menentang dahsyatnya sedekah! Right?


CATATAN:

Oh ya, buku "7 Keajaiban Rezeki" tidak melulu berisi tentang sedekah. Sedekah hanyalah satu di antara 1001 macam rahasia "percepatan-percepatan" atau "keajaiban-keajaiban" yang dapat mengubah hidup Anda, antara lain (saya kutip dari backcover):
  • menguasai 90 persen pintu rezeki
  • memahami 19 amal yang melipatgandakan rezeki
  • menjual lebih banyak, lebih cepat, dan lebih mahal
  • mengambil keputusan 1000 kali lebih cepat
  • melipatgandakan pengaruh dan go national 10 tahun lebih awal
  • mengubah kelemahan menjadi kekuatan tak terkalahkan
  • mengasah otak kanan, kreativitas, dan imajinasi,
  • menyingkap rahasia-rahasia Al Quran dan memanfaatkannya
  • dll

2 komentar:

  1. top dah bu.....
    tulisannya saya bajak dikit ya bu, buat presentasi matakuliah AGAMA saya yg saya kasih judul DAHSYATNYA SEDEKAH....

    terima kasih sebelumnya

    BalasHapus

Ingin LANGSING dan SEHAT dengan
JUICE NUTRISI rasa es krim?

Tanya saya bagaimana!

081-999-548-688 | http://www.DietAsyik.blogspot.com | www.facebook.com/elkaferani

Entri Populer