Kamis, 23 Desember 2010

Menjadi Perkasa Karena Ujian-Nya

Oleh: Bunda Raihan

Mobil jenazah itu telah berangkat dan keluar dari gerbang masjid. Diikuti iring-iringan para lelaki yang turut mengantarkan Ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tinggallah kami, para wanita yang hanya bisa menatap dari kejauhan dengan mata nanar. Tak ada yang bersuara, hanya isak tangis Ibu yang sesekali terdengar. Kami melangkah gontai ke dalam mobil yang akan mengantar kami pulang. Di dalam mobil, tangis Ibu meledak tanpa dapat dikendalikan. “Rasulullah juga menangis saat ditinggal istrinya!” kata Ibu setengah berteriak saat saya berusaha menghiburnya agar “jangan menangis”.

Malam pertama Ayah menjadi penghuni kubur, Ibu terlihat begitu rapuh.

Hari-hari berikutnya, ibu tampak lebih tabah, walaupun saya tahu airmatanya masih sering tumpah. Namun melihat kondisinya saat itu, siapa pun akan merasa sangsi dirinya sanggup melewati hari-hari ke depan yang tentunya sangat berat tanpa kehadiran Ayah. Dengan tanggungan tiga orang anak, semuanya masih berstatus pelajar dan mahasiswa—salah satunya di luar negeri. Dengan situasi ekonomi negeri yang masih morat-marit dan berimbas pada naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Dengan hanya mengandalkan uang pensiun yang jumlahnya tak seberapa.

Tapi hari ini, sepuluh tahun kemudian. Jika mengingat masa-masa berat yang pernah dilewati Ibu sepeninggal Ayah, rasanya sulit dipercaya wanita mulia ini telah bisa melewatinya. Ibu telah berhasil bangkit dari masa-masa sulit, berjuang agar putra-putrinya bisa terus bersekolah dan menggapai cita-cita. Bagaikan ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik melalui “persemedian” dalam kepompong, Ibu menjelma menjadi wanita tangguh di mata saya. Kini ketiga anaknya telah lulus kuliah, menikah, dan memberinya lima orang cucu.

Satu pelajaran berharga yang dapat dipetik di sini. Memang benarlah janji Allah dalam salah satu ayat Al-Quran. “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, jiwa dan buah- buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang- orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:155).

Petikan ayat di atas membuat kita tak dapat menyangkal lagi bahwa ujian di dunia adalah sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk bernama manusia. Dan seorang muslimah, apalagi jika ia telah menjadi ibu, tak mungkin melarikan diri dari kenyataan. Ada amanah dari Allah berupa anak-anak yang butuh dididik, disekolahkan, dibimbing menjadi anak-anak sholeh. Maka seberat apa pun cobaan yang harus dihadapinya, termasuk kehilangan belahan jiwa yang membuat langit serasa runtuh, harus dihadapinya dengan lapang dada dan penuh sikap berserah diri kepada-Nya.

Dan sesungguhnya Allah tak pernah memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Saya kerap memerhatikan teman-teman ibu saya di kelompok pensiunan dan haji. Dibandingkan duda, mereka yang berstatus janda jauh lebih banyak. Ternyata, lebih banyak suami yang duluan menghadap-Nya ketimbang istri. Mungkinkah ini salah satu bentuk kasih sayang Allah? Dia tahu kapasitas kemampuan hamba-Nya. Dia tahu, seorang ibu kebanyakan bisa berperan ganda sebagai ayah. Sebaliknya, sangat jarang ayah yang bisa menggantikan peran ibu. Padahal, peran ibulah yang dominan dalam mencetak generasi penerus bangsa.

Lantas mengapa seorang ibu kerap disebutkan bisa menggantikan peran ayah, namun tidak berlaku sebaliknya? Contoh konretnya banyak sekali kita dapati di sekeliling kita. Alangkah banyak ibu rumah tangga yang memiliki banyak peran. Dengan seabrek tugas domestik yang membuatnya lelah secara fisik, ia masih sanggup berbuat sesuatu untuk berkontribusi menambah nafkah keluarga—sekalipun itu bukan tanggung jawabnya. Masih sempat menemani anak-anaknya belajar, bermain, dan mengajari mereka mengaji. Jika ia seorang kader dakwah, waktunya yang telah demikian sempit pun masih disisihkannya untuk mengurusi umat. Bandingkan dengan sang ayah, yang umumnya merasa kewajibannya hanya sebatas pada mencari nafkah, dan enggan menerjuni peran-peran lain yang “bukan urusannya”.

Wanita makhluk yang lemah, itu memang benar. Namun Maha Besar Allah yang telah menempa seorang ibu sehingga menjelma menjadi sosok perkasa melalui serangkaian ujian-Nya. Dalam shirah nabawiyah pun, kita dapati wanita-wanita tangguh inspiratif. Ada Siti Hajar yang sanggup berlari-lari di gurun pasir tandus demi mencari seteguk air buat putranya yang kehausan. Ada Asma binti Abu Bakar yang turut berjihad dalam kondisi hamil tua. Ada Fatimah binti Muhammad yang tergolong ahli strategi perang. Dan sejumlah wanita pengukir sejarah yang tak dapat disebutkan satu-persatu di sini. Merekalah sejatinya yang layak mendapat julukan “supermom”, bukan ibu-ibu masa kini dalam tayangan “Super Mama” di televisi yang rapi berjilbab namun membiarkan putrinya mengumbar aurat dan terjerumus dalam “karier cemerlang” dunia showbiz.

Jadi, jika ingin mencari profil seorang ibu teladan, tak perlu jauh-jauh. Cukuplah kita meneladani sosok para ibu yang teguh dalam memegang prinsip akidah Islam-nya. Ia memang bukan sosok yang sempurna atau “supermom” yang mampu bersikap gagah berani setiap saat. Sisi-sisi kewanitaannya tetap terlihat dalam kesehariannya. Lemah lembut dan sangat perasa. Ia tetap menangis sehari-dua hari saat Allah memanggil sang suami. Namun setelah itu ia bangkit, menjadikan sabar dan sholat sebagai penolongnya menghadapi hari-hari yang berat. Wallaahu’alam bisshowwab. ***

Jimbaran, 20 Desember 2010

Tulisan ini diikutsertakan dalam “Lomba Menulis Opini” 
Bidang Kewanitaan DPD PKS Bali 
dalam rangka memperingati Hari Ibu 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingin LANGSING dan SEHAT dengan
JUICE NUTRISI rasa es krim?

Tanya saya bagaimana!

081-999-548-688 | http://www.DietAsyik.blogspot.com | www.facebook.com/elkaferani

Entri Populer