Selasa, 01 Februari 2011

Anugerah Terindah

Oleh: Dina Samodra

16 Januari 2008

03.00 pm

“Ugh....!” terbangun aku dari tidur siangku.

Sakit teramat sangat tiba-tiba kurasa. “Apa aku mau melahirkan ya?” pikirku. Tapi usia kandunganku baru memasuki 36 minggu, artinya masih empat minggu lagi perkiraan lahirnya. Tapi ini adalah kehamilan ketigaku, tentu aku tahu perbedaan sakit yang kurasa.

“Ma, minta susu,” kata si sulung yang baru berusia 3 tahun. Suaranya mengalihkan sebentar rasa sakitku. “Sebentar ya, Nak,” jawabku sambil bangun dari tidurku. Segera kuberjalan ke dapur.

“Cucu …, cucu,” terdengar suara anak keduaku ikut minta dibuatkan susu. Usianya baru beranjak 1,5 tahun, tentunya masih belum terdengar jelas perkataannya.

Kubuatkan 2 gelas susu hangat untuk kedua jagoanku, dengan cepat dihabiskannya susu itu. Tak lupa sebelum mereka meminumnya, kuingatkan untuk selalu berdoa sebelumnya.

Ugh, rasa sakit itu datang lagi, segera aku duduk di kursi sambil meringis kesakitan. “Mama, kenapa?” tanya si sulung. “Mama lagi sakit perut, Kak” jawabku. “ndong …, ndong,” si kecil merajuk minta digendong. “Adik, mama lagi sakit, ga bisa gendong,” kata si sulung kepada adiknya. “Main mobil yuk,” ajaknya.

Kutersenyum melihat keduanya. Untuk usia tiga tahun si sulung memang lebih dewasa dari usianya. Mungkin karena ia tahu bahwa dia adalah seorang kakak atau karena kami yang telah mengkondisikannya. Entahlah, tapi di usianya yang baru 3 tahun, si sulung akan memiliki 2 orang adik.

05.00 pm

“Hore! Bapak pulang…!” anak-anakku berhamburan keluar menyambut bapaknya. Yang mereka sukai adalah oleh-oleh yang selalu bapaknya bawa ketika pulang kerja, entah kue, puding, coklat dan sebagainya.

“Pak, Mama sakit perut,” lapor anakku yang pertama pada bapaknya. Segera suamiku masuk ke dalam kamar dan melihatku sedang tidur sambil menahan sakit. “Sakit mau melahirkan?” tanyanya.

“Iya nih..sepertinya begitu,” jawabku sambil meringis.

“Ayo ke rumah sakit!”  ajaknya, “Entar aja Mas, abis maghrib,” jawabku.

07.00 pm

Selepas maghrib, berangkatlah kami ke RS terdekat. Kedua balitaku aku titipkan ke rumah orangtuaku. Anak kedua merajuk minta ikut, tapi dengan sedikit rayuan pengalihan perhatian akhirnya ia mau ditinggal.
“Sudah bukaan lima, Bu,” kata perawat yang memeriksaku, sesampainya aku di RS. “Istirahat di ruang bersalin ya Bu, karena bukaannya sudah banyak,” kata suster itu lagi.

Ugh, rasa sakit datang lagi, aku hanya menganguk sambil memegang perutku. Melihat suasana RS membuat aku teringat akan rasa sakitku waktu melahirkan anak-anakku sebelumnya. Ada rasa takut di hati, tapi segera aku tepis dengan mensugesti diriku bahwa kemarin aku bisa melaluinya, mengapa sekarang tidak?

17 Januari 2008

07.00 am

Para perawat sudah terlihat sibuk menyiapkan peralatan bersalin. Diperiksanya aku sekali lagi, ternyata masih bukaan lima. Segera mereka menelepon dokter kandunganku untuk mengabarkan perkembangan kondisiku. Akhirnya dokter  menganjurkan untuk induksi, dan dimulailah proses itu untuk mempercepat persalinanku. Rasa sakit terus menyerang diriku, tak henti-hentinya aku menyebut nama-Nya guna mengurangi rasa sakitku.

06.00 pm

Induksi masih belum menampakkan  hasil. Dokter memutuskan untuk menunggu dua jam lagi. Bila masih belum ada perkembangan maka jalan terakhir adalah operasi. Perawat segera menyiapkan prosedur untuk operasi dan meminta persetujuan dari suami dengan alasan demi keselamatan ibu dan anak. Suami pelan-pelan mendatangiku, sambil mengusap kepalaku dia memberitahukan hal ini.

Aku menangis.......ya aku menangis ketakutan, “Aku tidak mau operasi,” isakku. Entah mengapa, padahal sebelumnya aku pun sudah tahu bahwa bila induksi tidak berhasil maka aku harus dioperasi. Rasa takut yang amat sangat membayangiku, karena hal ini belum pernah aku alami. Ditambah dengan banyak hal yang kuketahui  mengenai operasi, apa saja yang akan mereka lakukan pada perutku, risikonya dan apa yang terjadi pasca operasi pada diriku. Terbayang kedua jagoan cilikku yang masih perlu kasih sayangku, beberapa tugas yang masih belum terselesaikan......dan aku masih terus menangis.

Kulihat sesosok rupa yang sangat aku sayangi dibanding siapa pun yang pernah ada dalam hidupku. Beliau adalah bapakku terkasih yang datang untuk  menghiburku dan memberi dukungan semangat padaku. Beliau berkata bahwa apa yang terjadi di muka bumi ini tak satu pun luput dari kehendak Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, pada akhirnya Tuhan yang memegang kendali. Kata-kata itu segera menyadarkanku. Kuhapus airmataku dan berdoa dalam hati. Kukatakan pada-Nya, bahwa aku IKHLAS atas segala yang terjadi pada diriku. Sambil menarik nafas panjang kemudian aku hembuskan semua rasa takutku.

07.00 pm

Keajaiban itu datang, tiba-tiba kurasa sakit teramat sangat datang kepadaku. Rasa sakit luar biasa yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Para perawat segera memeriksaku dan mereka terkejut karena bukaanku sudah lengkap dan siap untuk melahirkan. Bergegas mereka menghubungi dokter kandunganku.

“Oaoaoaoaoa .....” terdengar suara tangis bayi mungilku. Akupun menangis, namun tangis kebahagiaan. Kulihat lagi satu buah anugerah dari banyaknya anugerah yang telah diberikan-Nya padaku. Terima kasih Tuhan, kauberi aku arti dari sebuah KEIKHLASAN. Suamiku menangis dan seluruh keluargaku menangis haru. Tangis kebahagiaan.

17 Januari 2011

Tiga tahun setelah peristiwa itu, kulihat anak-anakku tumbuh. Begitu banyak peristiwa yang telah kami lewati bersama. Memiliki tiga orang anak dalam waktu yang berdekatan, bukanlah sesuatu yang kami sengaja. Tapi kami percaya bahwa Tuhan telah mengatur semuanya. Bila kuingat perjuangan kami untuk mendapatkan momongan, tentunya memiliki tiga orang anak yang masih balita bukan hal yang merepotkan bagi kami, justru itu adalah sebuah anugerah terbesar bagi kami.

Ketika menikah usia suamiku sudah tidak muda lagi, perbedaan usia kami mencapai 15 tahun. Maka begitu menikah kami ingin segera memiliki momongan dengan mengikuti program kehamilan. Dimulai dengan mengikuti serangkaian pemeriksaan. Dari pemeriksaan tersebut diketahui bahwa suamiku dalam kondisi normal sedangkan kondisi diriku bermasalah. Dokter mengatakan bahwa saluran telurku yang sebelah kanan tertutup oleh kista dan hormonku tidak seimbang.  Inilah  penyebab sulitnya kami memiliki buah hati.

Begitu mengetahui hal ini aku menangis tersedu, terasa hampa karena tidak dapat memperoleh sesuatu yang kami damba selama ini. Ketakutan suami akan kawin lagi pun sempat membayangi pikiranku. Namun ternyata suami mengerti kegalauan hatiku dan selalu memberi semangat padaku. Baginya hal terpenting yang harus kami lakukan adalah terus berusaha dan kemudian menyerahkan semua pada-Nya.

Kupeluk dirinya, airmataku menetes, tapi itu adalah airmata harapan bukan airmata kesedihan. “Kita akan berusaha, Mas,” kataku sambil memandang kedua matanya. Dia menganguk, tersenyum dan menghapus air mataku. Maka mulailah kami konsultasi dengan dokter senior yang memang terkenal di kota kami. Semua obat dan cara terus diberikan sang dokter untuk mewujudkan impian kami. Bahkan pernah kami mengantri hingga jam 1 malam karena banyaknya pasien yang berobat kesana. Padahal jarak tempat praktek dokter dengan rumahku lumayan jauh, kira-kira 30 km jaraknya.

Berat badanku pun bertambah, tapi itulah resiko dari obat kesuburan yang aku minum, kata pasangan yang sudah pernah mengikuti program kehamilan sepertiku. Tidak sedikit biaya yang kami keluarkan untuk itu. Tiga tahun lamanya kami mengikutinya, namun karena sudah tidak sanggup untuk membiayai program ini, akhirnya kami memilih untuk menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

Doa kami tidak pernah putus setiap malam, dan setiap kami berdoa membuat kami semakin tenang dan keyakinan bahwa bila sudah tiba waktunya maka Tuhan akan memberi.

Suatu hari, pulang dari bekerja suamiku memberiku sebuah amplop tertutup, “Apa nih Mas?” tanyaku. “Buka aja” jawabnya. Segera aku buka, karena penasaran isi di dalamnya dan ternyata .... Sebuah tiket perjalanan wisata untuk kami berdua! “Asyik, bulan madu kedua nih!” teriakku, menghadiahi sebuah kecupan manis untuknya.

Perjalanan wisata yang sangat mengesankan, karena tidak saja menambah keharmonisan kami tapi menjadi anugerah buat kami, karena setelahnya aku tahu bahwa aku hamil!

“Terima kasih Tuhan... aku hamil!” teriakku. It’s a miracle, di tengah kondisiku yang secara kedokteran hanya kecil kemungkinan untuk bisa hamil, ternyata Tuhan berkehendak lain.

Seluruh keluarga menyambut suka cita berita kehamilanku. Ini adalah calon anak pertama kami dan calon cucu pertama di keluarga besarku. Setelah kelahiran anak pertama, ternyata Tuhan memberiku kembali anugerah kedua dalam waktu yang dekat. Hanya 9 bulan setelah kehamilan pertama, aku hamil lagi. Suatu hal yang tidak mudah kulakukan karena harus mengasuh anakku yang berusia 9 bulan serta menjaga kehamilanku. Tuhan Maha Tahu kemampuan hamba-Nya, itu yang selalu aku tanamkan dalam pikiranku dan membuat aku mampu menjalaninya.

Tuhan Maha Besar! Setelah 9 bulan kelahiran anak kedua kami, aku hamil lagi. Suatu keadaan yang tidak kami duga sebelumnya, karena aku ikut KB IUD, yang dalam dunia medis keberhasilannya mencapai 98%. Tapi itulah kehendak Tuhan, tak ada yang mampu menghalangi-Nya.

Hari ini kulihat mereka bermain bersama, tertawa bersama, kadang bergantian menangis dan sesekali diselingi dengan pertengkaran kecil. Terkadang bila mereka mulai membuatku emosi, maka teringat kembali keajaiban yang menyertai kehadiran mereka dalam hidup kami. Membuat aku tersenyum dan tidak menuruti emosiku. Saat menulis kisah ini pun mereka semua mengelilingiku, sambil sesekali bertanya tombol apa saja yang aku tekan. Semoga kami bisa menjaga dan membimbingmu Nak... menjadi pribadi-pribadi yang selalu dekat dengan Tuhan-Nya .... Amin.

Ungasan, 17 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingin LANGSING dan SEHAT dengan
JUICE NUTRISI rasa es krim?

Tanya saya bagaimana!

081-999-548-688 | http://www.DietAsyik.blogspot.com | www.facebook.com/elkaferani

Entri Populer