Selasa, 22 Februari 2011

Sakitkah Jiwa Anda?

Membaca judul di atas, kening Anda mungkin langsung berkerut, bergidik sambil mengelus dada, “Sakit jiwa? Idih, amit-amit!”

Apa sih “sakit jiwa” itu? Apakah istilah itu hanya layak dilekatkan pada orang “hilang ingatan”, yang suka tertawa atau bicara sendirian sambil berkeliaran di jalan-jalan ? Eits, jangan salah! Perlu Anda ketahui, ketika Anda sering mengeluh tentang hal-hal yang sepele saja, sebenarnya itu adalah salah satu gejala “jiwa yang sakit”.

Di dalam Tubuh Yang Sehat Terdapat Jiwa yang Kuat??

Kita semua tentu pernah merasakan sakit fisik, baik yang kelas ringan maupun kelas berat. Bagaimana kita menyikapi sakit tersebut, itu adalah cerminan dari kesehatan jiwa kita. Jika baru meriang sedikit saja kita sudah mengeluh ke sana-kemari seperti sedang sakit parah, maka ada yang tidak beres dengan jiwa kita.

Syekh Ahmad Yasin adalah seorang tokoh pemimpin rakyat Palestina melawan penjajah Zionis Israel. Dia adalah seorang tua renta yang lumpuh dan buta matanya, sehingga ke mana-mana harus selalu dengan kursi roda. Subhanallah, dengan keterbatasan fisik yang sedemikian parah, dia masih sanggup memimpin rakyat Palestina berjihad, bahkan menjadi tokoh yang paling ditakuti musuh.

Satu bukti nyata, kekuatan jiwa mampu mengalahkan kelemahan fisik! Tak dapat disangkal lagi, kesehatan jiwa sesungguhnya jauh lebih penting ketimbang kesehatan fisik. Fisik kita boleh sakit, tapi jangan sampai jiwa kita sakit! Kisah nyata Syekh Ahmad Yasin juga mematahkan semboyan “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”.

Jiwa Sehat vs “Jiwa Sakit”

Jiwa yang sehat dan kuat hanya kita dapat jika kita dekat dengan Allah. Ini terkait erat dengan dua hal yang memengaruhi jiwa manusia, yakni nafsu dan ruh.

Setiap manusia memiliki fitrah untuk menjadi baik, sehingga lahirlah ketakwaan kepada Allah swt. Pada dasarnya, fitrah untuk menjadi baik itulah yang mendominasi jiwa kita. Namun dalam perjalanan kehidupan, kita kerap dibenturkan oleh berbagai hal yang membuat kita jauh dari fitrah kebaikan. Tak heran jika kita mendapati saudara-saudara kita atau mungkin diri kita sendiri kerap berbuat kemaksiatan.

Jika fitrah seorang manusia adalah baik, lantas salah siapa jika dia sampai berbuat jahat? Sesungguhnya, Allah selalu menghadapkan kita pada dua persimpangan jalan, yakni jalan kebaikan dan jalan kejahatan (QS. As-Syams:7-10). Saat kita berbuat dosa, fitrah kita tengah terjebak oleh benda bernama nafsu, sehingga jalan kejahatanlah yang kita pilih.

Jiwa Manusia

Untuk kembali kepada fitrah sebagai manusia yang baik, kita perlu melakukan berbagai upaya penyucian jiwa. Sebelumnya, pahami dulu keadaan jiwa kita.

Secara garis besar, ada tiga keadaan jiwa manusia:

1. Keadaan jiwa yang dapat mengendalikan hawa nafsu.

Ruh lebih kuat daripada nafsu. Orang yang keadaan jiwanya seperti ini, orientasi hidupnya adalah zikir kepada Allah swt. Maka ia akan selalu terdorong untuk berbuat yang baik-baik saja. Hasilnya: jiwa yang tenang (nafsun muthmainnah). Ingin menjadi orang yang seperti ini? Rajin-rajinlah menyantap “makanan ruh”: tilawah, sholat, zikir, berucap kata-kata yang baik (thoyyib).

2. Keadaan jiwa yang hanya menjaga keseimbangan antara ruh dan nafsu.

Orang yang keadaan jiwanya seperti ini, orientasinya hanya kepada akal/logika. Ia kerap merasa ragu antara menjaga kesholehan diri dengan berbuat kemaksiatan. Ia bisa mengendalikan nafsunya hanya di saat-saat tertentu saja. Hasilnya: nafsul lawwamah (jiwa yang selalu menyesali diri). Menurut Rasulullah saw, perumpamaan orang semacam ini adalah ibarat domba yang tersesat di antara dua ekor kambing. Ia adalah “golongan tengah” yang bisa juga disebut orang munafik.

“Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri)” (QS. Al-Qiyamah [75]:2)

3. Keadaan jiwa yang tidak dapat mengendalikan nafsu.

Nafsunya lebih kuat daripada ruhnya. Orientasinya hanya syahwat belaka, keinginan bersenang-senang saja. Ia adalah orang yang selalu terjebak dalam nafsul ammarah. Ia yang selalu terpedaya oleh tipu daya setan, bahwa surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tak disukai manusia, dan sebaliknya neraka dikelilingi hal-hal yang disukai manusia. Naudzubillah min dzalik.

Termasuk jiwa yang manakah Anda? Mari sucikan jiwa kita, agar selalu terjaga dan menjadi nafsun muthmainnah (jiwa yang tenang).

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr [89]:27-30)

Wallahua’lam bisshowwab.

REFERENSI:
  1. Modul Materi Tarbiyah
  2. Sakit Jiwa = Aib? >> http://wikimu.com
  3. 5 Tahun Syahidnya Syekh Ahmad Yasin >> http://www.dakwatuna.com/2009/5-tahun-syahidnya-syekh-ahmad-yasin/
  4. Al Qur’anul Karim

4 komentar:

  1. Andaikan tdk ada lapangan perjuangan melawan hawa nafsu (syahwat), pasti tdk terbukti perjalanan org2 yg mnuju kpd Allah, sebab memang tdk ada jarak antarmu dgn Allah untuk dijalani (ditempuh) dgn kendaraan, dan juga tdk pernah putus antaramu dgn Allah, shgga dpt disambung oleh hubunganmu.

    BalasHapus
  2. Tidaklah Allah menciptakan sesuatu tanpa ada hikmahnya :-)

    BalasHapus
  3. Wah... Memang repot kalau jiwa yang sakit. Terkadang penderitanya tidak merasakan dan tidak sadar kalau dia sedang sakit. Naudzubillah min dzalik!
    Coba deh gali lebih dalam tentang penyakit hati pada karangan ibnul qayyim dan lainnya, atau buku-buku seputar terapi penyakit hati.
    Ukhti bisa kunjungi www.sahabatmuslimah.net untuk mendapatkannya

    BalasHapus
  4. iya, terkadang kita tak sadar bahwa jiwa kita sedang sakit

    BalasHapus

Ingin LANGSING dan SEHAT dengan
JUICE NUTRISI rasa es krim?

Tanya saya bagaimana!

081-999-548-688 | http://www.DietAsyik.blogspot.com | www.facebook.com/elkaferani

Entri Populer